Oleh Suyatno
(Pembina Gudep)
Saat ini, pelatihan kepramukaan mudah dijumpai di ruang-ruang kelas, di aula, di teras, dan di sudut ruang. Mereka melakukan praktik menali tetapi bukan sesungguhnya menali di antara pohon, di antara batu, di antara bambu secara fungsional. Mereka menerapkan game menarik tetapi bukan game tanda jejak di alam, game batu sungai dan game lainnya di alam luas yang lebih menantang. Mereka mempraktikkan yel tetapi bukan yel di alam yang mampu secara langsung memberikan motivasi di sela kelelahan. Mereka berkemah di halaman sekolah beralas paving tetapi bukan berkemah di sela pohon hutan yang lebih menantang. Namun, janganlah mengira seperti itu semua karena masih ada yang sesungguhnya kembali ke alam, meskipun teramat sedikit.
Saat ini, mudah dijumpai pengurus kwartir yang semena-mena, mengadu domba, mengambinghitamkan, mendiagonalkan sesama, dan membiarkan masalah selamanya menjadi masalah. Mereka berpura-pura seorang pramuka yang bersaudara, peduli sesama, dan berdasa darma tetapi itu hanya sebatas ucapan. Mereka seolah-olah mampu merekatkan sesama kwartir tetapi justru mereka mengambinghitamkan di antaranya. Mereka bangga dengan ilmu manajemen dan leadershipnya tetapi kenyataannya tidak mampu menyelesaikan masalah yang menimpa salah satu kwartir di bawahnya. Mereka menganggap diri sebagai Pancasilais sejati tetapi tidak mampu menerapkan sila keempat yang ditandai dengan otoriter untuk menentukan sosok pemimpin kwartir di bawahnya jika tidak bisa SK ditahan sampai kiamat.
Saat ini, mudah dijumpai orang yang mengatakan dengan lantang bahwa mereka bangga dan jatuh hati kepada GP tetapi kenyataannya selama disentuhnya justru dijumpai keterbelakangan karena dana malah berkurang, kwartir di bawahnya dizalimi, gaung tidak ada bunyinya, dan kemarahan demi kemarahan diaktingkan dengan lantang.
Saat ini, ada kwartir yang dipenjara tanpa alasan dan advis oleh kwartir di atasnya. Mereka meneriakan tahan partisipasinya karena bermasalah tetapi tidak pernah dijelaskan masalahnya apa. Mereka kemana-mana mengajak pengurus lain untuk turut menghukum tetapi tidak pernah secara hati nurani mencari upaya penyelesaiannya. Bahkan sampai tiga tahun masalah digantung tetapi selama itu pula tidak ada upaya yang terprogres dengan apik.
Ketika masa baktinya akan berakhir, mereka berupaya ke mana-mana untuk dipilih kembali. Menurutnya, insan kepramukan mudah hanyut dengan ucapan yang jauh panggang dari api. Menurutnya penghuni GP mudah sekali diakali, dihasut, dan digiring. Menurutnya, latar belakang pangkat dan profesi mampu melarutkan insan kepramukaan. Padahal semua itu justru bukan lukisan kepramukaan yang sesungguhnya.
Apakah semua kwartir seperti? Tentu, tidak. Masih banyak kwartir yang waras. Berikut contohnya, dari 34 kwarda paling hanya satu yang terpenjara dan terzalimi tetapi itu berbahaya jika dibiarkan. Bukankah kesewenang-wenangan jika dibiarkan akan menjadi karakter?
Apakah itu semua pertanda meredupnya api perkembangan GP? Waktulah yang akan menjadi saksi keberanian para punggawa GP untuk berada di rel kepramukaan. Ke depan GP harus diisi negarawan sejati yang berbasis Trisatya dan Dasadarma. Mereka wajib manusia Pancasila, Berkebinnekaan, NKRI, dan UUD 1945. Selamat membina.
Terimakasih Kak Yatno saya senang dgn tulisan ini.